Jumat, 14 Januari 2011

Geliat Grebeg Suro Bumi Reyog

By Tri Mariyani Parlan

Menjelang Tahun Baru Islam Hijriyah lalu Kota Ponorogo menggeliat. Grebeg Suro, pesta tahunan masyarakat Kota Reyog, digelar.

Pementasan Reyog Ponorogo
Hujan menyambutku siang itu ketika tiba di kota Ponorogo , kota kelahiranku. Kepulanganku kali ini ingin merasakan perayaan Grebeg Suro yang diadakan untuk mengenang kejayaan Bantarangin yang berjaya dan dikenalnya warog, kesatria-kesatria pilih tanding yang sakti. Selain itu Grebeg Suro juga untuk memperingati serta menyukuri kedatangan tahun baru Islam Hijriyah. Rangkaian perayaan Grebeg Suro ini sebenarnya sudah sebulan sebelumnya digelar. Berbagai kegiatan dilakukan untuk menarik wisatawan domestik maupun mancanegara, salah satunya adalah Festival Reyog Nasional yang diikuti oleh grup- grup reyog di seluruh Indonesia.

Malam pertama di kota Ponorogo saya menyempatkan melihat grand final pemilihan duta wisata Kakang Senduk Kabupaten Ponorogo. Pesertanya diikuti oleh para pelajar dari sekolah-sekolah yang ada di Ponorogo yang tujuannya untuk menarik mereka agar peduli dengan wisata lokal. Meski formatnya tidak jauh berbeda dengan pemilihan duta wisata di daerah-daerah lain, namun ada yang menarik bagi saya yaitu penonjolan batik lokal yang kini tengah menggeliat lagi dan dikelola oleh warga Ponorogo sendiri yaitu Batik Lesoeng. Batik ini mempunyai ciri khas bermotif bulu burung merak dan berwarna hijau dipadu dengan warna coklat atau hitam yang memang awal penciptaannya terinspirasi dari kesenian Reyog Ponorogo yang sering menggunakan warna burung merak. Oleh lenggak lenggok peserta duta wisata kakang senduk ini, baju-baju bermotif batik lesoeng terasa mewah dan elegan.

Di hari berikutnya, hujan terus mengguyur. Minggu sore itu saya bersama teman saya ingin melihat festival kesenian reyog nasional di Alun-alun Ponorogo. Namun hujan cukup deras, kami pun melihat pementasan reyog sesi malam hari. Dengan membayar tiket masuk Rp 4.000, kami bisa masuk ke area pementasan. Di tengah hujan rintik-rintik, kami mengandalkan payung untuk melindungi kami dari hujan. Sebagian penontonpun melakukan hal yang sama. Maklum, tempat duduk bagi penonton itu dibuat terbuka, jadi bila hujan turun area penonton becek dan tempat duduk bukan jadi tempat duduk tapi tempat berdiri penonton yang melihat aksi para grup reyog.

Melihat pernak pernik Keseniah Reyog Ponorogo
Festival Kesenian Reyog Nusantara ini adalah yang ketujuhbelas kalinya diselenggarakan oleh Pemda kabupaten Ponorogo. Tahun 2010 ini diikuti sekitar 50-an grup-grup reyog seluruh Indonesia. Peserta kesenian reyog ini harus mengikuti standar kesenian reyog yang telah ada. Seusai menonton pementasan reyog, saya pun melihat-lihat pernak pernik kesenian reyog di stand dekat area pementasan itu, seperti pecut, barongan lengkap dengan bulu merak, kaos bergambar warok maupun reyog, kuda lumping, dan masih banyak yang lain.

Pusaka dikirab setelah dimandikan
Sehari sebelum tahun baru Islam Hijriyah, saya tidak melewatkan kirab pusaka, lintas sejarah dan pesona wisata dari Kota Lama menuju alun-alun. Lagi-lagi hujan mengguyur kota Ponorogo siang itu. Namun masyarakat kota Ponorogo tetap antusias mengikuti dan melihat kirab pusaka itu dengan berdiri di pinggir sepanjang jalan yang dilewati iringan-iringan pusaka, yaitu diawali dari Makam Batoro Katong hingga pendopo alun-alun. Pemda pun mengundang selebriti Doni Kusuma untuk bertindak sebagai Batoro Katong dan Ratna Listi sebagai Dewi Songgolangit. Selain kirab pusaka, ada iring-iringan delman yang diisi oleh Bupati Ponorogo, pejabat pemda hingga para camat se-kabupaten Ponorogo. Juga pawai budaya dari perwakilan beberapa sekolah kota Ponorogo.

Ratna Listi ikut memeriahkan Grebe Suro 2010
Di daerah Pasar Pon, Kota Lama Ponorogo saya melihat iring-iringan kirab pusaka itu. Di Kota Lama ini menarik perhatian saya. Bangunan-bangunan tua kota lama masih tersisa. Anita K Wardhani, teman sekolah saya dulu, yang pernah tinggal di Kota Lama mengatakan kakeknya dulu adalah pengusaha batik. Mungkin malah generasi terakhir. Memang, kota lama Pasar Pon ini sebagian besar adalah pengusaha batik. Rumah tinggal tua yang berukuran besar-besar adalah saksinya. Dalam rumah itu, dulu mereka membuat kerajinan batik dari proses awal hingga akhir. Tapi kota lama penghasil kerajinan batik kini tinggal kenangan. “Suatu saat saya ingin membangkitkan kembali kerajinan batik peninggalan kakek saya. Masih ada sisa-sisa cap batik yang saya simpan, itu kenangan terakhir dari kakek saya,” kata Anita optimis sambil menyeruput bakmi kuah di warung dekat rumahnya dulu yang kini telah menjadi gudang sebuah minuman mineral.

Malam 1 Suro atau Tahun baru Hijriyah, adalah puncak acara Grebeg Suro. Di jalan-jalan strategis kota Ponorogo didirikan panggung kesenian yang menemani warga Ponorogo dan sekitarnya untuk begadang sampai pagi. Ada band musik, pagelaran wayang kulit semalam suntuk, penutupan festival reyog nasional dan masih banyak lagi.

Pesona Ponorogo tidak hanya ketika Grebeg Suro saja. Kota Ponorogo menghadirkan pesona sebagai kota kesenian Reyog. Di hampir setiap perempatan kota, dibangun patung-patung pendukung kesenian Reyog. Di empat sisi alun-alun, dibangun patung singa. Sementara di depan alun-alun, bersebelahan kantor pemda, dibangun Patung Macan dan Patung Dewi Songgolangit.

Namun pesona itu akan lengkap bila sambil menikmati makanan khas kota ini. Setiap pagi saya tak pernah melewatkan untuk makan nasi pecel “Mbah Godhong” favorit saya sejak kecil. Dan ketika tahun baru Hijriyah itu saya pun menikmati sate ayam Pak Bagong yang hangat di kawasan Ngepos sambil menikmati hujan rintik-rintik di sore hari. ***

2 komentar:

  1. Perayaan Grebeg Suro selalu mengingatkan kekayaan budaya Ponorogo. Grebeg Suro 2 tahun yang lalu saya diajak Ayah berkeliling dan mendengar cerita berdirinya Pesantren terbesar di Asia Tenggara 'Ponpes Gontor'. Saat itu pula saya mendengar cerita tentang kejayaan batik ponorogo sampai berhasil mendirikan yayasan dan sekolah Bakti, walaupun pada akhirnya tergilas juga oleh masuknya produk2 murah dari Cina.

    Masih banyak lagi potensi ekonomi setempat seperti usaha sate ponorogo yang menganut sistem kluster; seluruh desa dari kakek nenek, orang tua, dan anak2 semua berdagang sate. Sistem seperti ini baru saja dirintis di berbagai daerah dengan nama OVOP: One Product One Village....tapi di Ponorogo sistem serupa sudah mendarah daging sejak puluhan tahun lalu.

    BalasHapus
  2. Terus terang membaca tulisan ini serasa membuatku berada di hiruk pikuk nya semarak suronan. Sebagai wong Ponorogo yg berada di 'paran', gebyar suronan acapkali hanya sayup-sayup terdengar dari cerita sanak saudara di rumah. Beruntung, tulisan genre features seperti ini berhasil diracik oleh si penulis dengan runtut dan diskriptif. Seakan menjawab gelegak hasrat 'pengen mulih' si pembaca. Semoga menjadi pelecut si penulis untuk lebih produktif bikin tulisan dan menginisiasi si penbaca yg kebetulan juga pengen bisa nulis tapi masih dibelenggu penyakit 'ayas-ayasen'....:-)

    BalasHapus